Bencana banjir bandang cukup sering terjadi di Indonesia. Adi (2014) menyebutkan bahwa setidaknya ada 10 kejadian banjir bandang terjadi di Indonesia. Hingga pertengahan tahun 2018 ini, terjadi pula banjir bandang di Kabupaten Banyuwangi (22 Juni 2018), Kabupaten Bogor (7 April 18), Kabupaten Tasikmalaya (17 April 18), dan Bandung (20 Maret 2018).
Secara umum, banjir bandang dapat terjadi karena terjadi curah hujan dengan intensitas tinggi, akumulasi curah hujan, dan pembendungan sungai. Selaras dengan itu, Hong et al. (2013) juga mendefinisikan bahwa banjir bandang (flash flood) dapat terjadi karena hujan deras ataupun jebolnya tampungan air di sungai yang terjadi secara mendadak. Oleh karena terbatasnya waktu, peramalan banjir bandang perlu dilakukan untuk memberikan peringatan dini bagi masyarakat sebelum kejadian.
Sejak 10 tahun terakhir, banyak peneliti mulai tertarik untuk menggembangkan lebih lanjut Teori Critical Line untuk peramalan bahaya banjir bandang. Ada yang menggunakan metode Kurva Intensitas-Durasi Hujan (Guzzetti et al., 2008), metode Radial Basis Function Network (RBFN) (Osanai et al., 2010), ataupun metode pemantauan tekanan air tanah akibat peningkatan infiltrasi (Papa et al., 2013). Namun demikian, ada pola peningkatan penggunaan model berbasis data catatan kejadian banjir (Data Driven Model), dimana hubungan hidrologis antara hujan dan banjir dikesampingkan.
Pada dasarnya, Teori Critical Line menghadirkan garis batas dimana banjir bandang berpotensi untuk terjadi atau tidak. Variabel pemicu banjir yang digunakan sebagai patokan antara lain curah hujan jangka pendek, akumulasi curah hujan, kelembaban tanah, dan sebagainya. Apa bila bersarnya nilai variabel pemicu melebihi garis batas (critical line) maka dapat diramalkan bahwa banjir bandang berpotensi besar untuk terjadi.
Pada kesempatan kali ini, secara khusus dan singkat akan dibahas mengenai penggunaan metode RBFN untuk membuat critical line banjir bandang. Terutama untuk memberikan pandangan terkait pengembangan metode tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain:
1. Apakah Critical Line dapat dibuat hanya dengan menggunakan data hujan, tanpa memperhitungkan apakah hujan tersebut memicu banjir atau tidak?
Jawab:
Hal tersebut bisa dilakukan. Namun demikian, diperlukan uji langsung di lapangan/ di laboratorium untuk menjelaskan hubungan antara hujan dengan inisiasi banjir bandang. Pan (2018) menginisiasi teori tersebut pada kasus Wenchuan, China. Hubungan antara hujan kritis yang menginisiasi banjir dipelajari dengan mengamati pola inisiasi banjir bandang di sungai asli di lembah Guojuanyan, Wenchuan, China, dimana ada beberapa riwayat kejadian banjir debris di lokasi tersebut. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan Critical Line yang dihasilkan dari pemodelan lainnya sebagai bentuk validasi.
2. Apakah Critical Line yang menggunakan variable pemicu berupa kelembapan tanah (soil water content) memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia saat ini?
Jawab:
Saat ini, metode tersebut belum bisa dilakukan untuk skala aplikasi walaupun untuk skala riset sangatlah memungkinkan. Hal ini dikarenakan belum semua daerah di Indonesia memiliki sistem monitoring kelembapan tanah di area sumber banjir bandang. Pada beberapa lokasi, bahkan data hujan dalam durasi jam-jaman yang terstruktur dan tervalidasi pun sulit ditemukan (Wisoyo and Putra, 2017; Vernimmen et al., 2012). Data hujan dan kelembapan tanah sangat penting untuk kalibrasi model, dimana kelembapan tanah secara spasial biasanya dihasilkan dari pemodelan hidrologi di daerah sumber banjir bandang. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di Jepang atau di beberapa negara maju lainnya, dimana telah tersedia sistem monitoring hidrologi pada daerah sumber banjir bandang (Ebel et al, 2015; Napolitano et al., 2016; Osanai et al, 2010).
Sebagai kesimpulan, penggunaan teori Critical Line untuk peramalan banjir bandang sangat berpotensi diterapkan di daerah yang memiliki catatan kejadian banjir bandang yang terstruktur dan teratur. Pencatatan kejadian banjir bandang sangat vital untuk pemutakhiran model peringatan dini termasuk akurasi ramalan yang dihasilkan oleh model tersebut. Pemerintah perlu mengembangkan mekanisme pencatatan kejadian banjir bandang sebagai langkah aktif dalam upaya mitigasi bencana.
Pustaka acuan